• Thfffred slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • frff

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Bimbingan dan Konseling Sebagai suatu Profesi

BIMBINGAN DAN KONSELING SEBAGAI PROFESI
Oleh : AMAR FARUQ, S.Pd


Istilah atau pengertian profesi mungkin sudah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian.tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan juga belum cukup disebut profesi.Namun dari pembahasan profesi pasti akan berhubungan dengan beberapa istilah yang lain, yaitu Profesi, profesional, dan profesionalitas. Profesi adalah jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dan etika khusus serta baku (standar layanan). Profesional adalah sifat sesuatu yang berkenaan dengan profesi, penampilan dalam menjalankan jabatan sesuai dengan tuntutan profesi, orang yang mempunyai kemampuan sesuai tuntutan profesi Dan ini sangat berkaitan erat dengan kepuasan cutomer. Profesionalitas adalah usaha menjadikan suatu jabatan sebagai pekerjaan professional, upaya dan proses peningkatan dasar, criteria, standar, kemampuan, keahlian, etika, dan perlindungan suatu profesi ini.
Konseling merupakan helping profession yang melandasi peran dan fungsi konselor di masyarakat. Helping profession atau profesi penolong adalah profesi yang anggota-anggotanya melakukan layanan unik dan dibutuhkan masyarakat.
Organisasi profesi bimbingan dan konseling Indonesia lahir pada bulan Desember 1975 di Malang. Pada waktu itu organisasi tersebut diberi nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Namun sejak kongres 2001 di lampung berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
A.     Hakekat Suatu profesi
Istilah profesi biasanya diartikan sebagai pekerjaan. Suatu jabatan atau pekerjaan disebut profesi apabila ia memiliki syarat-syarat atau ciri-ciri tertentu. Sejumlah ahli (McCully, 1963; Tolbert, 1972; Nugent, 1981) merumuskan ciri-ciri suatu profesi sebagai berikut :
1.      Suatu profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang mempunyai fungsi dan kebermaknaan sosial yang sangat menentukan.
2.      Para anggota profesi menampilkan pelayanan khusus, didasarkan atas teknik-teknik intelektual dan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang unik.
3.      Penampilan pelayanan bukan hanya dilakukan secara rutin, melainkan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang menuntun pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4.      Para anggota memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu yang didasarkan atas ilmu yang jelas sistematis dan eksplisit bukan hanya didasarkan atas akal sehat (common sense) belaka.
5.      Untuk dapat menguasai kerangka ilmu diperlukan pendidikan dan latihan dalam waktu yang cukup lama.
6.      Para anggotanya secara tegas dituntut memiliki kompetensi minimum melalui prosedur pendidikan dan latihan serta lisensi ataupun sertifikat.
7.      Dalam peyelenggaraan pelayanan, para anggota memiliki kebebasan dan tanggungjawab pribadi dalam memberikan pendapat dan pertimbangan serta membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan profesional.
8.      Para anggota lebih mementingkan pelayanan yang bersifat sosial dari pada pelayanan yang mengejar keuntungan yang bersifat ekonomi.
9.      Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara tersurat (eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar diterapkan. Setiap pelanggaran atas kode etik dapat dikenakan sanksi tertentu
10.   Selama berada dalam pekerjaan itu para anggotanya terus menerus berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensi dengan jalan membaca literatur dan memahami hasil riset-riset, serta berperan aktif dalam pertemuan-pertemuan sesama anggota.
Berdasarkan uraian diatas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan dapat disebut profesi apabila :
a.    Dilaksanakan oleh petugas yang mempunyai keahlian dan kewenangan
b.    Petugas profesi merupakan lulusan Perguruan Tinggi
c.    Merupakan pelayanan kemasyarakatan
d.    Diakui oleh masyarakat dan pemerintah.
e.    Dalam melaksanakan kegiatan menggunakan teknik/metode ilmiah.
f.     Memiliki organisasi profesi
g.    Memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran rumah Tangga (AD/ART).
h.    Memiliki kode etik profesi.
i.      Para anggota(organisasi) selalu ada keinginan untuk memajukan diri
B.    Profesi Bimbingan dan Konseling
Berdasarkan pengertian profesi yang telah diuraikan sebelumnya, apakah bimbingan dan konseling bisa dikatakan sebagai profesi ? Untuk itu, perlu ditelaah pelayanan bimbingan dan konseling terkait dengan ciri-ciri profesi sebagai berikut :
1.  Bimbingan dan konseling dilaksanakan oleh petugas yang disebut guru pembimbing atau konselor (sekolah) yang merupakan lulusan dari pendidikan keahlian yakni Perguruan Tinggi jurusan atau program studi Bimbingan dan Konseling.
2.  Kegiatan Bimbingan dan Konseling merupakan pelayanan kemasyarakatan dan bersifat sosial.
3.  Dalam melaksanakan layanan, guru pembimbing menggunakan berbagai metode dan teknik ilmiah.
4.  Memiliki organisasi profesi, Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia, yang pada saat didirikan tanggal 12 Desember 1975 di Malang dikenal dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) yang juga memiliki AD/ART maupun kode etik.
5.  Da pengakuan dari masyarakat/Pemerintah, seperti tercantum dalam SK Mendikbud No. 25/1995 yang menyatakan bahwa IPBI (saat ini ABKIN) sejajar dengan PGRI dan ISPI. Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6, menetapkan konselor sebagai salah satu jenis kualifikasi pendidik.
6.  Para anggota profesi Bimbingan dan Konseling memiliki keinginan untuk memajukan diri baik wawasan pengetahuannya maupun ketrampilannya, yakni melalui kegiatan seminar, pelatihan, workshop, atau pertemuan ilmiah lainnya.
C.    Kilas Balik Profesi Konselor di Indonesia
Sejarah kelahiran layanan Bimbingan dan Konseling di lingkungan pendidikan di tanah air dapat dikatakan tergolong unik. Terkesan oleh layanan Bimbingan dan Konseling disekolah-sekolah yang diamati oleh para pejabat pendidikan dalam peninjauannya di Amerika Serikat sekitar tahun 1962, beberapa orang pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengintruksikan dibentuknya layanan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menengah sekembalinya mereka di tanah air. Kriteria penetapan konselor ketika itu tidak jelas dan ragam tugasnyapun sanat lebar, mulai dari berperan semacam “ Polisi Sekolah “ samapai dengan mengkonversi hasil  ujian untuk seluruh siswa disuatu sekolah menjadi skor standar
Pada awal dekade 1960-an LPTK-LPTK mendirikan jurusan-jurusan untuk mewadai tenaga-tenaga akademik yang akan membina program studi yang menyiapkan konselor yang dinamakan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan, dengan program studi yang diselenggarakan pada 2 jenjang yaitu jenjang Sarjana Muda dan masa belajar 3 tahun, yang bisa diteruskan ke jenjang Sarjana degan masa belajar 2 tahun setelah Sarjana Muda. Program studi jenjang Sarjana Muda dan Sarjana dengan masa belajar 5 tahun ini yang kemudian pada akhir dekade 1970-an dilebur menjadi S-1 dengan masa belajar 4 tahun. Pada dekade 1970-an itu pula mulai ada lulusan program Sarjana (lama) di bidang Bimbingan dan konseling, selain itu juga ada segelintir tenaga akademik LPTK lulusan perguruan tinggi luar negeri yang kembali ke tanah air.
Kurikuluk 1975 mengarahkan layanan Bimbingan dan Konseling seabagai salah satu dari wilayah layanan dalam sistem persekolahan mulai dari jenjang SD sampai dengan jenjang SMA, yaitu pembelajaran yang didampingi layanan manajemen dan layanan Bimbingan dan Konseling. Pada tahun 1976, ketertuan yang serupa diberlakukan untuk SMK. Dalam kaitan inilah, dengan kerja sama jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, pada tahun 1976 Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan dalam penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan Konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk. Tindak lanjutnya memang raib ditelan oleh waktu, Karena para Kepala Sekolah kurang memberikan ruang gerak bagi alumni pelatihan bimbingan dan konseling tersebut untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling sekembalinya mereka kesekolah masing-masing.
Untuk jenjang SD, pelayanan Bimbingan dan Konseling belum terwujud sesuai dengan harapan, dan belum ada konselor yang diangkat di SD, kecuali mungkin di sekolah swasta tertentu. Untuk jenjang menengah, posisi konselor diisi  seadanya termasuk, ketika SPG di-Phase out mulai akhir tahun 1989, sebagian dari guru SPG yang tidak diintegrasikan ke lingkungan LPTK sebagai dose Program D-II PGSD, juga ditempatkan sebagai guru pembimbing, umumnya di SMA.
Meskipun perundang-undangan belum memberikan ruang gerak, akan tetapi karena didorong oleh keinginan kuat untuk memperkokoh profesi konselor, maka dengan dimotori oleh para pendidik konselor yang bertugas sebagai tenaga akademik di LPTK-LPTK, pada tanggal 17 Desember 1975 di Malang didirikan Ikatan petugas Bimbingan indonesia(IPBI), yang menghimpun konselor lulusan program Sarjana Muda dan Sarjana yang bertugas disekolah dan para pendidik konnselor yang bertugas di LPTK.
Denga diberlakukannya kurikulum 1994, mulailah ada ruang gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewjibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 peserta didik


Share:

Hakekat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling





Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).

Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut. 

Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.

Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).

Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut. 

Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).

Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.

Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

Share:

Pengertian Teori Konseling

PENGERTIAN TEORI KONSELING

Secara umum, teori merupakan suatu model yang digunakan oleh para teoritis ( ahli yang mengembangkan teori ) untuk memadukan atau menggabungkan realitas pengalaman-pengalaman dengan ide-ide (pemikiran) tentang penjelasan yang masuk akal tentang peristiwa-peristiwa tersebut (Stefflre & Matheny, 1968). Para teorits berusaha untuk memahami kehidupan dengan cara mengkonstruksikan suatu kerangka kerja (framework) yang memungkinkan mereka untuk dapat membuat penjelasan logis (nalar atau masuk akal) tentang peristiwa-peristiwa. Berkenaan dengan hal itu,  dapat dipahami bahwa teori merupakan suatu bentuk hasil budaya manusia, buah akal budi, buah pemikiran yang didukung oleh fakta-fakta yang kemudian disusun sedemikian rupa sehingga memperlihatkan adanya hubungan yang sistematis dan logis antara unsur-unsur. Maka dari pendapat diatas maka akan muncul suatu pertanyaan tentang apakah yang dimaksud dengan teori konseling itu ?
Teori konseling merupakan suatu model yang digunakan oleh para ahli dan praktisi dalam bidang konseling untuk memadukan atau menggabungkan realitas pengalaman-pengalaman dengan ide-ide (pemikiran) tentang penjelasan ymag masuk akal tentang praktek konseling atau tentang bagaimana suatu proses konseling seharusnya dilaksanakan. Atau singkatnya teori konseling merupakan “peta” preses konseling serta apa yang harus dilakukan oleh konselor untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Hackney & Cormeir ,2000). Lalu apakah konseling itu ?
Definisi “awal” yang dikemukakan oleh Komisi Definisi pada Devisi Psikologi Konseling Asosiasi psikologi Amerika pada tahun 1956 menyatakan konseling sebagai suatu proses membantu individu untuk menangani berbagai hal yang menghambat proses pencapaian pertumbuhan diri dan perkembangan yang optimal dari sumber-sumber pribadinya (Thampson, Rudolph, & Henderson, 2004). Pada perkembangan berikutnya muncul beberapa definisi. Definisi yang popular menyatakan bahwa konseling merupakan suatu hubungan professional antara konseli dan konselor yang terlatih. Hubungan tersebut selalu bersifat antar pribadi, meskipun kadang-kadang membantu konseli dapat melibatkan lebih dari dua orang.
Share:

Popular Posts

Recent Posts