Ajaran Pokok
Firqah-Firqah Teologi Islam
1) Khawarij
1. a. Asal-usul
dan Sejarah Khawarij
Kata khawarij secara
etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu
kharaja yang berarti keluar, muncul,
timbul atau memberontak. Syahrastani
mengartikan khawarij sebagai kelompok
masyarakat yang memberontak dan tidak
mengakui terhadap imam yang sah dan
sudah disepakati oleh kaum muslimin, baik
pada masa sahabat, pada masa tabiin maupun
pada masa sesudahnya.[2] Namun, menurut Harun
Nasution ada pula pendapat yang mengatakan
bahwa nama khawarij diberikan atas
surat an-Nisa ayat 100 yang didalamnya
disebutkan : “Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Dengan demikian kaum khawarij memandang diri mereka sebagai
orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk men gabdikan diri
kepada Allah dan RasulNya.[3]
Selain itu mereka menyebut
diri mereka Syurah, yang berasal
dari kata Yasyiri (Menjual), sebagaimana
disebutkan dalam Al-Baqoroh ayat 207 : “Ada
manusia yang menjual dirinya untuk keridhaan Allah”. Nama lain yang
diberikan kepada mereka adalah Haruriah, dari kata harura,
suatu desa didekat kufah, Irak.
Di tempat inilah, mereka yang
pada waktu itu berjumlah dua belas
ribu orang berkumpul setelah memisahkan diri
dari Ali. Disini mereka memilih ‘Abdullah bin
abdul wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti dari Ali bin Abi
Thalib. Dalam pertempuran dengan Ali
mereka mengalami kekalahan
besar, tetapi seorang khawarij bernama Abd
al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.
Gerakan khawarij berpusat
di dua tempat. Yaitu
di Bathaih yang menguasai dan
mengontrol kaum khawarij yang berada di
Persia dan sekeliling Irak. Tokoh-tokohnya
ialah Nafi’ Bin Azraq, Qathar
bin Faja’ah. Lainnya bermarkas di Arab daratan
yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Hadlaramaut, dan Thaif.
Tokoh-tokohnya ialah Abu Thaluf, Najdar bin Amri, dan Abu Fudaika.[4]
1. b. Doktrin-doktrin
pokok Khawarij
Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah
berikut ini:
1. Khalifah atau Imam
harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin;
2. Khalifah
tidak harus berasal dari keturunan Arab. Siapapun
berhak menjadi khalifah apabila memenuhi syarat;
3. Khalifah dipilih
secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan
syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman;
4. Khalifah sebelum Ali
(Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah. Tetapi setelah tahun
ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman
r.a dianggap telah menyeleweng;
5. Khalifah Ali adalah
sah, tetapi setelah adanya Arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng;
6. Muawaiyah dan
Amr bin Ash serta Abu Musa Al-As’ary
juga telah dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir;
7. Pasukan perang jamal
yang telah melawan Ali juga Kafir;
8. Seseorang yang
berdosa besar tidak lagi disebut muslim
sehingga harus dibunuh. Yang lebih parah, mereka
menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir
apabila ia tidak mau membunuh muslim
lain yang telah dianggap kafir
dengan resiko ia menanggung
beban harus dilenyapkan pula;
9. Setiap muslim
harus berhijrah dan bergabung dengan
golongan mereka. Bila tidak mau bergabung
maka ia wajib diperangi karena hidup
dalam dar el-harb (Negara musuh),
sedang golongan mereka sendiri dianggap berada
dalam dar al-islam (Negara Islam);
10. Seseorang harus
menghindar dari pimpinan yang menyeleweng;
11. Adanya wa’ad dan
wa’id (Orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yang jahat harus masuk
kedalam neraka);
12. Amar ma’ruf nahi
munkar;
13. Memalingkan ayat-ayat
al-Quran yang tampak Mutasabihat (samar);
14. Quran adalah makhluk;
15. Manusia bebas
memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan;
Menurut Asy-Syahrastani, mereka terpecah menjadi
delapan belas subsekte, namun sekte yang
paling pentingnya adalah Al-Muhakimah,
Al- Azariqoh, An-Najdiyah, Al-Baihasiyah,
Al-A’jaridah, ats-Ts’alibah, dan as-
Shufriyah. Menurut al-Bagdady, seperti yang dikutip
Harun Nasution ada dua puluh sub sekte Khawarij.
Sekte-sekte Khawarij tersebut
membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apa dia
masih dianggap mukmin atau dia telah menjadi kafir. Doktrin inilah
yang terlihat mendominasi mereka, sedangkan
doktrin- doktrin lainnya hanya sebagai penunjang
saja. Pemikiran subsekte ini bersikap praktis
daripada teoritis sehingga kriteria mukmin
dan kafirnya menjadi tidak jelas. Hal
ini membuat kondisi tertentu seseorang yang
bias menjadi kafir dan dalam waktu bersamaan menjadi
seorang mukmin.
2) Murjiah
1. a. Asal-usul
dan sejarah munculnya
Nama Murjiah berasal
dari kata irja atau
arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Memberi harapan
dalam artian member harapan kepada para pelaku dosa besar untuk
memperoleh pengampunan Allah Swt. Selain itu, irja’a juga bisa
memiliki arti meletakkan di belakangatau mengemudikan,
yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu, Murjiah
berarti orang yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang mengemukakan asal-usul
adanya aliran Murjiah. Teori pertama mengatakan
bahwa gagasan Irja’a atau arja dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin
persatuan dan kesatuan umat Islam ketika
terjadinya pertikaian politik
dan juga bertujuan untuk
menghindari sektarianisme. Diperkirakan Murjiah ini
muncul bersamaan dengan munculnyaKhawarij.
Menurut Watt, 20 tahun setelah kematian Muawiyah,
dunia Islam dikoyak oleh pertikayan sipil. Al-Mukhtar membawa
paham Syiah ke Kufah dari tahun
685-687; Ibn Zubair mengklaim kekhalifahan di
mekah hingga yang berada dibawah kekuasaan
Islam. Sebagai respon dari keadaan ini,
muncul gagasan irja atau penangguhan
(postponenment). Gagasan ini pertama kali
digunakan tahun 695 olleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin
Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat ini Al Hasan
menunjukan sikap politiknya dengan mengatakan, “ Kita mengakui Abu
Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan
yang terjadi pada konflik sipil yang
pertama yang melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair.
” Dengan sikap politik ini, Al-Hasan
mencoba untuk menanggulangi
perpecahan umat Islam. Ia
pun mengelak berdampingan dengan kelompok Syiah
yang terlampau mengagungkan Ali dan para
pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij
yang menolak mengaki kekhalifahan Muawiyah
dengan alasan bahwa dia adalah keturunan
si pendosa Utsman.
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan
Ali dan Muawiyah, dilakukan Tahkim atas usulan
Amr bin Ash, pengikut Muawiyah. Kelompok Ali
terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra
akhirnya keluar dari Ali, yaitu kelompok
Khawarij, yang memandang bahwa keputusan
takhim bertentangan dengan
al-Quran. Oleh karena itu, pelakunya
melakukan dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat
ini ditolak oleh sebagian
sahabat yang kemudian disebut Murjiah,
yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetaplah mukmin, tidak
kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan
mengampuninya atau tidak.
1. b. Doktrin-doktrin
Murjiah
Menurut W. M. Watt, doktrin-doktin Murjiah
secara umum sebagai berikut:
1. Penangguhan keputusan
terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah yang memutuskannya di hari
kiamat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk
menduduki rangking keempat dalam peringkat al- Khalifah ar-Rasyidun.
3. Pemberian
harapan terhadap orang muslim yang berdosa
besar untuk mendapat ampunan dan rahmat dari Allah
Swt.
4. Doktrin-doktrin
Murjiah menyerupai pengajaran (mazdhab)
para skeptik dan empiris dari kalangan Helenis.
Sementara Abu A’la al Maududi
menyebutkan dua ajaran paling pokok Murjiah, yaitu
:
1. Iman adalah percaya
kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan
suatu keharusan bagi adanya iman. Seseorang tetap dianggap mukmin
walaupun meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan dosa besar.
2. Dasar
keselamatan adalah iman semata. Selama
masih ada iman di hati, setiap maksiat
tidak dapat mendatangkan madarat atas
seseorang. Untuk mendapat ampunan, manusia hanya
cukup dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati
dalam keadaan akidah tauhid.
3) Jabariyah
1. a. Asal-usul
dan sejarah munculnya
Kata Jabariyah berasal dari
kata Jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskan melakukan sesuatu. Asy-Syahrastani
mengartikan Jabariah sebagai menolak
adanya perbuatan dan menyadarkan semua perbuatan
kepada Allah Swt. Berdasarkan hal ini,
Asy-Syahrastani membagi Jabariah dalam dua
bentuk, yaitu :
1. Jabariah Murni,
yang menolak
adanya perbuatan berasal dari manusia dan
memandang manusia tidak memiliki kemampuan untuk berbuat,
2. Jabariah Pertengahan (Moderat),
yang mengakui adanya perbuatan manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi.
Namun, orang yang mengakui adanya perbuatan makhluk yang
mereka namakan “kasb” bukan termasuk Jabariyah.
Paham al-Jabr pertama
kali diperkenalkan oleh Ja’ad
bin Dirham kemudian disebarluaskan
oleh Jahm bin Shafwan
dari Khurasan. Dalam perkembangannya paham ini
juga dikembangkan oleh tokoh lainnya, diantaranya al-Husain bin
Muhammad an-Najjar dan Ja’ad bin Dirrar.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa kemunculan paham Jabariyah terpengaruh
dari paham ajaran Yahudi dan Nasrani. Yaitu Yahudi sekte Qurro dan
agama Nasrani yang bersekte Ya’cubiyah.
Mengenai paham Jabariyah ini, para
ahli sejarah teologi Islam ada yang berpendapat bahwa kehidupan
bangsa Arab yang dikelilingi gurun sahara
telah mempengaruhi cara hidup mereka. Kebergantungan mereka terhadap
gurun sahara yang panas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap
alam.
1. b. Doktrin-doktrin Jabariyah.
Doktrin-doktrin Jabariyah secara umum
dapat dipaparkan sebagai berikut, yaitu :
1. Fatalisme, yakni kepasrahan total yang
menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki daya, dan
dipaksa berbuat oleh Allah Swt.
2. Surga dan Neraka
tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Allah Swt.
3. Iman adalah
ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
Dalam hal ini, pendapat ini sama dengan konsep iman yang di
ajarkan Murji’ah.
4. Kalam Tuhan adalah
Makhluk.
5. Tuhan tidak dapat
dilihat di akhirat.
Dalam perkembangannya Jabariyah terbagi
antara Jabariyah Murni dan Jabariyah
Moderat. Jabariyah Murni terbagi dalam beberapa golongan, yaitu al-
Jahmiyah, an-Najjariyah, dan ad-Dhirariyah.
4) Qodariyah
1. a. Asal-usul paham Qodariyah
Qodariyah berasal dari
bahasa Arab, yaitu Qadara,
yang artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut terminology,
Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
perbuatan manusia tidak diintervensi oleh
Tuhan. Jadi, tiap-tiap orang adalah pencipta dari perbuatannya.
Para pakar sejarah teologi
Islam tidak mengetahui secara pasti kapan
paham ini timbul, tetapi menurut keterangan
ahli lainnya, paham Qodariyah diperkirakan
timbul pertama kali oleh
seorang bernama Ma’bad al-Juhani,
menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan
temannya, Ghailan al-Dimasyiqi mengambil paham
ini dari seorang Kristen yang masuk
Islam di Irak. Dan Menurut Zahabi, Ma’bad adalah
seorang tabi’i yang baik dan ia pun menentang kekuasaan Bani Umayah. Dalam
pertempuran dengan al-Hajjad tahun 80 H, dia mati terbunuh.
1. b. Doktrin-doktrin
Qodariyah
Secara garis besar, doktrin-doktrin
Qodariah pada dasarnya berkisar tentang takdir
Tuhan, yaitu :
1. Manusia berkuasa atas
segala perbuatannya;
2. Takdir adalah
ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh alam semesta beserta
seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum dalam istilah al-Quran disebut
Sunatullah.
Dalam perkembangannya, paham
qodariyah seringkali disebut dengan paham
Mu’tazilah seperti yang dijelaskan
Asy-Syahrastani yang menyatukan pembahasan Mu’tazilah
dengan pembahasan Qodariyah. Hal
ini disebabkan karena paham qodar dijelaskan
lebih luas pada aliran Mu’tazilah.
5) Mu’tazilah
1. a. Asal-usul
dan sejarah munculnya
Secara harfiayah kata Mu’tazilah
berasal dari kata i’tazala yang
berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan
diri. Secara teknis, Mu’tazilah menunjuk pada dua
golongan, yaitu :
1. Golongan pertama,
muncul sebagai respon politik, yaitu bersifat lunak dalam
menyikapi pertentangan antara Ali
dan lawan-lawannya. Menurut Abdul Rozak,
golongan inilah yang pertama-tama disebutMu’tazilah
karena mereka menjaukan diri dari
pertikaian masalah Imamah.
2. Golongan kedua,
muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang di
kalangan khawarij dan Murjiah tentang
pemberian status kafir kepada orang yang
berbuat dosa besar. Mu’tazilah inilah yang
akan dibahas kemudian.
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah (golongan
kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin A’tha, Amr
bin Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika
Washil mengikut pengajaran yang diberikan oleh
Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih berpikir. Washil
mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “ Saya
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar, bukan
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
berada dalam posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak
kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan pergi di
tempat lain di lingkungan masjid.
Disana Washil mengulangi pendapatnya
di depan para pengikutnya. Dengan peristiwa ini,
Hasan Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita
(I’tazaala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok
yang menjauhkan diri inilah yang kemudian disebut
sebagai Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan
keterangan lain, mereka disebut
kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin
dan juga bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-mazilah
bain al-manzilatain).
Golongan Mu’tazilah juga
dikenal dengan nama lain seperti Ahl
al-Adl yang berarti golongan yang
mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa
al-adl yang berarti golongan yang
mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.
Mereka juga sering disamakan dengan paham
Qadariyah yang menganut paham free act
dan free will. Selain itu mereka
juga dinamai al- Mua’tillah karena golongan Mu’tazilah berpendapat
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat yang memiliki wujud diluar
zat Tuhan. Mereka juga diberi nama dengan Wa’diyyah, karena
mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan
menimpa orang-orang yang tidak taat akan
hukum-hukum Tuhan.
Ajaran-ajaran Mu’tazilah mendapat
dukungan dan penganut dari penguasa Bani Umayyah, yakni khalifah Yazib bin
Walid (125-227H). Sedangkan dari Bani Abbasiyah yaitu : Al-Makmun (198-218H),
Al-Mu’tasim billah (218-227H), dan
Al-Watsiq (
227-232H).
1. b. Ajaran
Dasar Teologi Mu’tazilah.
Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah ini
juga disebut dengan al-Ushul al- Khamsah. Yaitu
:
1. At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan)
merupakan prinsip utama dan intisari ajaran
Mu’tazilah. Sebenarnya, semua
aliran teologis dalam Islam
memegang doktrin ini. Namun, Tauhid dalam
paham Mu’tazilah memiliki arti spesifik. Yaitu :
1. Tuhanlah satu-satunya
yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang menyamai-Nya. Karena
itu, Dia-lah yang qadim. Bila ada
yang qadim lebih dari satu, maka telah
terjadi ta’adud al qudama (tebilangnya zat yang tak
berpemulaan).
2. Mu’tazilah menolak
konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan
mata kepala.
3. Al-Adl
Ajaran tentang
keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :
1. Perbuatan Manusia
Menurut Mu’tazilah, melakukan
dan menciptakan perbuatannya sendiri,
terlepas dari kehendak dan
kekuasaan Tuhan, baik secara langsung
maupun tidak. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan
Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima
manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.
1. Berbuat baik dan
terbaik (as-shalah wa al-ashlah)
Maksudnya adalah
kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik untuk manusia.
Tuhan tidak mungkin jahat dan penganiaya,
karena hal tersebut tidak layak bagi
Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat terhadap
seseorang dan berlaku jahat kepada orang lain berarti Ia tidak adil. Maka
Tuhan pastilah berbuat yang terbaik bagi manusia.
1. Mengutus Rasul
Mengutus rasul bagi
manusia merupakan kewajiban bagi Tuhan dengan alasan sebagai berikut :
1. Tuhan wajib berlaku
baik kepada manusia.
2. Al-Quran secara
tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas
kasih kepada manusia (QS 26:29).
3. Tujuan
diciptakan manusia adalah untuk beribadah
kepada- Nya.
4. Al-Wa’ad wa al-Wa’id
5. Al-Manzilah bain
al-Manzilatain
6. Al-Amru bi
al-Ma’ruf wa an-Nahy an Munkar.
6) Syiah
1. a. Asal-usul
kemunculan Syiah
Syiah secara bahasa berarti pengikut,
pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminology
adalah sebagian kaum muslimin yang dalam
bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk
kepada keturunan Nabi Muhammad Saw, atau orang yang disebut
sebagai ahl-bait.
Menurut Abu Zahrah, Syiah mulai
muncul pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan kemudian
tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun
menurut Watt, Syiah benar-benar muncul
ketka berlangsung peperangan antara Ali dan
Muawiyah pada perang siffin. Dalam respon ini,
golongan yang mendukung Ali disebut sebagai Syiah dan yang
tidak menolak Ali disebut sebagai Khawarij.
Berkaitan dengan
teologi, mereka memiliki lima
rukun iman, yakni Tauhid, Nubuwah,
Ma’ad(Kepercayaan akan adanya hidup di akhirat), Imamah(kepercayaan
terhadap imamah yang merupakan hak ahlul bait), dan adl (keadilan
Tuhan).
1. b. Ajaran-ajaran Syiah
1. Tauhid. Tuhan
adalah Esa, baik ekstensi maupun
esensi-Nya. Keesaan adalah mutlak. Keesaan Tuhan
tidak murakkab (tersusun).Tuhan tidak membutuhkan
sesuatu, Ia berdiri sendiri, dan tidak dibatasi oleh ciptaan- Nya.
2. Nubuwah. Setiap
mahkluk membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia.
Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang diutus untuk memberikan
acuan dalam membedakan antara baik dan
buruk di alam semesta. Tuhan telah mengutus
124.000 rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.
3. Ma’ad. Ma’ad adalah
hari akhir untuk menghadapi Tuhan di akhirat. Mati adalah kehidupan transit
dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
4. Imamah. Imamah
adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan
untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih dari
keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad Saw.
5. Adl. Tuhan
menciptakan kebaikan di Alam semesta ini
merupakan keadilan. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk
mengetahui perkara yang salah melalui perasaan. Manusia
dapat menggunakan indranya untuk melakukan perbuatan,
baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan
potensi berkehendak sebagai anugrah Tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung
jawab atas perbuatannya.
Dalam
perkembangannya, golongan syiah
ini terpecah dalam beberapa sekte. Perpecahan ini
dipicu karena doktrin imamah yang berbeda-beda. Diantara
sekte syiah itu adalah Istsna Asy’Ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah, dan Gullat.
7) Ahlus Sunnah wal
Jama’ah
Ahlus Sunnah akan
dijelaskan pada bab berikutnya.
1. D. Pengaruh
Teologi Terhadap Umat Islam
Persoalan teologi
yang berawal dari persoalan politik pemerintahan, tidak sedikit
berimbas terhadap tatanan kehidupan
masyarakat sosial yang secara tidak langsung ikut terlibat
serta menjadi bagian di dalamnya. Berbagai kalangan bersaing untuk
mempertahankan paham mereka, bahkan hingga
menimbulkan perselisihan di dalam golongan itu
sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa bukanlah
suatu hal yang aneh jika terjadi perpecahan
di kalangan umat Islam, terlebih dalam satu golongan
tidak kokoh dengan satu pemahaman.
Adapun pengaruh atau
imbas dari teologi itu sendiri adalah :
1. Terpecahnya Umat
Islam dalam Keberagaman Sudut Pandang
Terpecahnya umat
Islam pada daat itu, tidak terlepas dari sejarah lahirnya teologi, yang berawal
dari terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan serta naiknya Ali sebagai
Khalifah yang memimpin dunia Islam pada
saat itu. Sejarah Islam secara gamblang
menjelaskan bahwa Perang Siffin berimbas
kepada lahirnya golongan-golongan yang berdiri di atas paham mereka
sendiri.
Persoalan
teologipun menjadi suatu hal yang menarik
pada saat itu, terlebih jika dikaitkan
dengan berbagai perkembangan pemikiran dari
suatu golongan dan bahkan peikiran para tokoh Islam.
Setidaknya banyak aliran yang
timbul dari persoalan ini, antara
lain Khawarij, Murji’ah danMu’tazilah serta Qadariyah dan Jabariyah.
Aliran-aliran ini berdiri dengan paham dan pemikiran mereka masing-masing
terhadap situasi yang terjadi pada saat itu. Dengan adanya golongan-golongan
inilah menggambarkan bahwa Islam terpecah dalam beberapa kelompok yang
menjunjung tinggi pemikiran mereka masing-masing.
1. Kecekcokan dalam
Suatu Golongan.
Bukan hanya
melibatkan kelompok-kelompok besar, teologi ternyata juga berdampak
terhadap apa yang terjadi di dalam
golongan-golongan tersebut. Persoalan yang awalnya
menimbulkan perbedaan beberapa golongan, ternyata
juga mengalami perbedaan tersendiri di dalam ruang lingkup golongan tersebut
Khawarij misalnya,
yang dikenal sebagai barisan yang
keluar dari pendukung Ali bin Abi
Thalib, dan telah mempunyai pemikiran
tersendiri, ternyata dari pengikut golongan khawarijpun
tepecah ke dalam beberapa sekte dengan
pemikiran yang berbeda. Golongan khawarij
juga sering mengadakan perlawanan terhadap
penguasa-penguasa Islam dan Umat Islam yang
ada di zaman mereka.
Lain hal
dengan Mu’tazilah, setelah beberapa saat
mencapai puncak kejayaannya, Mu’tazilah mengalami
kemunduran drastis yang disebabkan oleh perbuatan
mereka sendiri. Mereka yang hendak mempertahankan pemikiran dan
kebebasan mereka sendiri, malah memusuhi
orang-orang yang tidak mengikuti paham mereka.
Peristiwa ini mencapai puncak hingga menimbulkan perpecahan yang justru melahirkan
golongan baru.
Tidak
sedikit dari golongan-golongan ini yang
menggunakan kekerasan dalam pelaksanaannya. Banyak
terjadi pemaksaan terhadap umat Islam dan
terhadap pengikut golongan itu
sendiri untuk meyakini atau
ikut dengan pemikiran yang mereka anut.
Dan tentunya tidak semua pihak yang mampu
menerima tindak paksaan seperti itu,
sehingga memicu kekerasan yang akan berdampak lebih
buruk lagi. Dari fenomena ini terlihat bahwa keberagaman pemikiran dan sifat
ingin berkuasanya manusia dapat menimbulkan hal-hal
yang seharusnya tidak perlu terjadi, seperti peperangan
antar sesame Muslim.
1. Impilkasi dari
Aqidah yang berarah pada konsep pemahaman dari suatu aliran.
Keyakinan yang dianut oleh masing-masing aliran
justru menimbulkan bid’ah. Jadi berdasarkan catatatan
sejarah Islam, terdapat bid’ah khwarij, bid’ah murji’ah
dan bid’ah syi’ah.
[1] Harun Nasution. Sejarah
Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2006. Hal.6
[2] Asy-syahrastani. Al-Milal
wa Al-Nihal. Surabaya: PT Bina Ilmu. 2006. Hal.101
[3] Harun Nasution. Teologi
Islam : Aliran-aliran sejarah analisa perbadingan. Jakarta: UI Press.
2002.Hal.13
[4] Sahilun A Nasir. Pengantar
Ilmu Kalam. Jakarta: Raja GrafindoPersada. 1994. Hal. 94
No comments:
Post a Comment