Perdebatan
Teologi Firqah-Firqah Islam
Persoalan-persoalan
politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan teologi.
Timbullah persoalan siapa yang kafir dan
siapa yang bukan kafir. Khawarij menganggap
Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu
Musa al- Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir.
Karena keempat pemuka ini dianggap kafir dalam
arti telah keluar dari islam, kaum
Khawarij menganggap mereka harus dibunuh.
Lambat laun kaum
Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula
mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan
lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an,
tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir. Persoalan
orang yang berbuat dosa inilah yang
kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi
selanjutnya dalam islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi,
yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah.
Aliran Khawarij
mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti
telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan
bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir.
Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT
yang mengampuninya atau tidak. Sedangkan
Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima
pendapat diatas. Bagi mereka orang yang
telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang yang
seperti ini menurut mereka mengambil posisi
diantara dua posisi mukmin dan kafir yang
dalam bahsa arabnya terkenal dengan istilah
almanzilah bain al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam
keadaan seperti ini timbullah dua aliran
teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah.
Menurut al-qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat
bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam
tingkah lakunya bertindak dengan paksaan Tuhan dan
gerak-gerik ditentukan oleh Tuhan, menurut jabariah. Selanjutnya,
kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku
falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kedalam bahasa Arab,
terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai
kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu. Dengan pemakaian
rasio ini oleh kaum Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil teologi liberal,
dalam arti bahwa sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan
rasio mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu.
Dengan penggambaran
diatas sudah pasti bahwa Mu’tazilah lebih memilih qadariah dibanding
jabariah yang mana golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal
untuk berfikir. Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini
membuat kaum intelegensia tertarik akan teologi mereka yang terdapat
dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan
abad ke-9 Masehi. Khalifah al-Ma’mun, putra dari
khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 827
M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab
yang resmi dianut negara. Karena telah
menjadi aliran resmi dari pemerintahan,
kaum Mu’tazilah mulai bersikap paksa dalam
menyiarkan ajaran mereka. Terutama paham
mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan
bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Aliran Mu’tazilah
yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari
golongan tradisional Islam, terutama golongan
Hambali, yaitu pengikut- pengikut mazhab
Ibn Hambal. politik menyiarkan
aliran Mu’tazilah secara kekerasan
berkurang setelal al-Ma’mun meninggal pada
tahun 833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazilah
sebagai mazhab resmi dari negara dibatalkan
oleh khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kadudukan
mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari
kalangan umat Islam.
Perlawanan
ini kemudian mengambil bentuk aliran
teologi tradisional yang disusun oleh Abu
al-Hasan al-Asy’ari (932 M). Al-Asy’ari
sendiri pada mulanya adalah mu’tazilah, tetapi kemudian menurut
riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran
Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran
yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran tiu dan membentuk ajaran baru yang
trerkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah atau al-Asya’irah. Disamping
aliran asy’ariah timbul pula di Samarkand perlawanan menentang
aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur
Muhammad al-Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama
teologi al-Maturidiah yang mana tidak bersifat setradisional
al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Dengan
demikian aliran-aliran teologi penting yang
timbul dalam islam adalah aliran Khawarij,
Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran
Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai
wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai
sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya
disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran
Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan
aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
No comments:
Post a Comment